Tak perlu melirik jauh jika kita ingin melihat maju atau tidaknya sebuah bangsa, lihat ekonominya!. Itulah satu-satunya memori yang tersisa dari pelajaran Ekonomi saya semasa sekolah menengah dulu. Satu demi satu bangsa saya pelajari garis besar ekonominya, mulai dari Amerika Serikat; Inggris; Jerman; Jepang; Singapura semua menunjukkan angka-angka perekonomian yang maju. Kebijakan anggaran yang menguntungkan, derasnya arus ekspor, kurs mata uang yang stabil pada nilai yang tinggi, dll. Tetapi, ketika penelitian singkat saya lanjutkan ke bangsa-bangsa Amerika Latin; Afrika; Thailand; serta Indonesia semua istilah yang baik-baik itu bagai hilang ditelan bumi. Kredit macet, depresi mata uang, hutang pihak swasta, overheated economy, defisit dalam perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran, dsb bagai semut menghampiri gula-gula yang berserakan.
Sekarang timbul pertanyaan baru, “Apa kesalahan terbesar pemerintah hingga menyebabkan Indonesia berada pada ranking bawah dalam sektor perekonomian?”.
Menjelang krisis ekonomi yang melanda Thailand sekitar tahun 1990-an, yang secara umum bisa digambarkan dengan nilai defisit perkiraan berjalan sekitar 8,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Sementara hutang luar negeri kumulatifnya secara keseluruhan mencapai tingkat sekitar 50 persen dari PDB. Dan seiring dengan ini pula, pada tahun 1996, institusi keuangan Thailand mengalami kredit macet sebesar 6,5 persen dari total pinjaman yang diberikan. Situasi yang sama terjadi juga di Indonesia, pada periode yang anehnya juga sama. Depresi Rupiah sebesar 25 persen, kredit macet institusi keuangan sebesar 8,8 persen, dan hutang luar negeri pihak swasta sebesar 40 persen.
Kenapa sektor swasta bagai menjadi parasit di tubuh sendiri? Jadi, pada umumnya pihak-pihak swasta di Thailand maupun di Indonesia melakukan pinjaman dari bank-bank asing melalui cabang bank-bank asing di Negara masing-masing (Indonesia dan Thailand) dengan menjaminkan deposito yang mereka masukkan dalam bank-bank asing di luar negeri (yang sebetulnya meminjam uang negaranya sendiri). Sebagai akibat dari kasus ini, dilansir banyak perusahaan-perusahaan yang diperintahkan oleh bank sentral pemerintah untuk menghentikan operasinya dengan maksud untuk dilakukannya pembenahan dan demi menyelamatkan uang masyarakat dalam perusahaan yang bersangkutan. Dan buruknya, kreditor asing yang meminjamkan uang dipersilahkan dengan bebas untuk menguasai saham perusahaan yang bersangkutan tersebut sampai mereka dapat membayar lunas semua hutangnya. Jelas hal ini sangat menguntungkan pihak asing dan merugikan Indonesia serta Thailand.
Keadaan menjadi lebih buruk ketika Indonesia dan juga Thailand menangis untuk memohon pertolongan kepada Dana Moneter Internasional atau IMF. Beberapa waktu Indonesia bagai pungguk yang merindukan bulannya, hingga IMF akhirnya berniat memberikan bantuan. Tapi dengan syarat yang secara tidak langsung mengubur cita-cita rakyat yang menginginkan agar tingkat perekonomian membaik. Syarat-syarat tersebut selama ini biasa dikenal sebagai paket kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policy). Satu contoh, Thailand dikehendaki untuk menurunkan defisit perkiraan berjalan menjadi 3 persen dari PDB-nya. Terkait dengan hal itu, kebijakan moneter diminta untuk melaksanakan pengetatan kredit dan kebijakan fiskal diminta untuk mengandung pengurangan subsidi dan peningkatan tarif pajak. Walhasil, kebijakan-kebijakan itu telah mengakibatkan melonjaknya harga-harga kebutuhan hidup rakyat banyak. Di Indonesia, biaya hidup naik akibat menaiknya biaya transportasi barang. Perusahaan yang tidak dapat bertahan harus berbesar hati untuk menutup perusahaannya sehingga menyebabkan pengangguran meningkat.
Jika kita sadari, bias dari bobroknya fondasi ekonomi kita akibat ketergantungan terhadap lembaga internasional telah menggugurkan harapan dari sektor-sektor lain seperti pertanian, kesenian, perindustrian, dan banyak sektor penting lainnya. Sekarang sudah saatnya pemikir-pemikir ulung Indonesia sadar, dan serta merta duduk bersama untuk memformulasikan sendiri Paket Kebijakan (PK)-nya di sektor ekonomi tanpa campur tangan asing, terutama IMF. Seperti ajaran Bung Hatta, yang sejak dulu telah melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada rakyat Indonesia agar menyesuaikan pemikiran-pemikiran dasar strukturalis yang telah didapat selama jenjang pendidikan, dari yang terendah hingga yang paling tinggi atas dasar realitas sosial di Negara berkembang (Indonesia). Tak jauh dari petikan kalimat dalam “sajak sebatang lisong” karya Rendra:
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode..
Tetapi kita sendiri harus merumuskan keadaan..
Kita mesti keluar ke jalan raya..
Dengan begitu, ‘Indonesia Merdeka’ bukan lagi hanya sebuah terminologi umum yang murahan. Tetapi lebih besar lagi! ‘Indonesia Merdeka’ sudah menjadi suatu kalimat utuh, yang bisa kita renungi secara mendalam arti kata-katanya. Salam.
Satria Ugahari
Reporter DIMENSI
Pers Mahasiswa Teknik Mesin ITS
Pemenang Penulisan Artikel
Pelangi Wacana se-ITS
Agustus 2009